Featured Post

Recommended Story

Novel's Project: Castlevania The Holy Heart, Cpt 2: Penyusup Kecil (Sample Testing)

  Ilustrasi: Alucard, Phonyssa, The church, Red-lips Lady, Hofifa, Lisa, Dracula. Catatan bagi Pembaca: Kisah ini terjadi jauh sebelum meled...

Novel's Project: Castlevania The Holy Heart, Cpt 2: Penyusup Kecil (Sample Testing)

Novel's Project: Castlevania The Holy Heart, Cpt 2: Penyusup Kecil (Sample Testing)

 



Ilustrasi: Alucard, Phonyssa, The church, Red-lips Lady, Hofifa, Lisa, Dracula.


Catatan bagi Pembaca: Kisah ini terjadi jauh sebelum meledaknya revolusi Perancis tahun 1792, maupun bangkitnya tirani Erzabeth Bathory sebagai Sekhmet, Jauh Sebelum Richter Belmont, Maria dan Aneth, pahlawan kita terlahir…



Melainkan, ramalan ini telah diberitakan sejak 300 tahun sebelumnya….




Biografi Singkat Karakter Utama: 



Adrian Farenheit Tepes (Alucard): dalam serial film originalnya Castlevania diinformasikan lahir sekitar pertengahan tahun 1450-an. Ciri-ciri fisiknya berkulit pucat, mata keemesan dengan rambut putih panjang yang ikal. Ayahnya Lord Dracula Tepes dan ibunya seorang manusia bernama Lisa, seorang dokter dari desa kecil bernama Lupu, yang ada di wilayah kerajaan Wallachia. Sekarang di era modern termasuk ke wilayah Romania. Darah campurannya, menjadikan Alucard lahir sebagai Dhampire (setengah manusia setengah Vampir) Namun, khusus dalam cerita ini, setelah ia terlibat perang berdarah dengan misi membunuh ayahnya yang mengamuk menggenosida umat manusia setelah kematian ibunya, yang dibakar oleh gereja dan dituduh sebagai penyihir (yang di mana bagian narasi ini juga terdapat dalam cerita aslinya) Alucard pun bertransformasi menjadi Vampir sepenuhnya dan mewarisi Kastil Dracula di Wallachia. 



Phonyssa Afeta Belmont: Ini adalah karakter penggemar utama yang dibuat oleh penulis dalam cerita ini. Lahir setelah 133 tahun setelah perang melawan Dracula usai. Berambut kemerahan teh jahe dan bermata biru laut, seperti leluhurnya Sypha. Saat usianya menginjak 18 tahun ia pun memilih jalan hidupnya dengan mendalami pengetahuan-pengetahuan rahasia, termasuk sejarah dan sihir. Ia kemudian bergabung dengan kaum Pencerita (Speaker) dari garis leluhur ibunya–Sypha Belmont, alih-alih menjadi pemburu vampir sebagaimana leluhurnya dari garis ayah–Trevor Belmont. Yang kedua leluhurnya itu adalah teman seperjuangan Alucard mengalahkan Dracula di masa lalu.

                                               ***


Wallachia, 1631 Masehi.

“Ternyata kau belum tidur..” rutuk Sumi berdiri di ambang pintu. Gaun tidur putihnya menari lembut. “Boleh aku masuk?” Sumi mendekat dan menarik tali tirai, kelambunya tersibak ke atas secara otomatis seperkian detik kemudian.

Sesaat rayuan kematian itu terasa menyenangkan. Menghangatkan. Seolah-olah kau seperti memiliki rumah lagi. Sumi, seorang gadis berkulit oriental asal matahari terbit dengan rambut hitamnya sebahu duduk di tepi ranjangnya. Taka, murid dan karib dekatnya menyusul kemudian.
“Sepertinya ini masih terlalu awal juga untukku tidur.” jawab Alucard tertawa kecil, menyambut mereka dengan hangat.

“Kami juga sebenarnya tidak bisa tidur, bolehkah kami berbaring, kami selalu tenang kala ada di dekat Anda..” ujar Sumi, sambil memeluknya. Taka juga terlihat damai menyandarkan bahunya ke kepala tempat tidur.

“Anda mungkin seorang manusia, tapi darah Dracula juga mengalir dalam nadi Anda. Anda cerdas, abadi, tangkas dan kuat. Mewarisi Sains manusia milik keluarga Belmont dan ilmu sihir Dracula sekaligus.” Jari jemari Sumi membelai lembut tulang pipinya sebelum turun menelusuri titik-titik di dagunya, matanya memicing lembut. “Bagaimana bisa orang sehebat Anda selalu sendirian?” bahkan satu pun pelayan atau budak.. tak Anda pelihara. “ Sejenak keheningan menebal di antara mereka, laksana pedang yang menunggu dicabut dari sarungnya.

“...Apa yang membuat Anda begitu sedih? Apa yang Anda sembunyikan dari kami?”

Sumi menatapnya, jauh menghujam ke dalam dua iris matanya yang keemasan dan Alucard membalasnya dengan senyum lembut. “Dulu.” aku memang sendirian..” tapi sekarang, mungkin.. tidak lagi?” Jari-jemarinya pun turut membelai tangan wanita yang mengasihinya itu. Untuk sesaat, Alucard bahkan luluh ia menarik Sumi mendekat dan membiarkan kerentanan yang telah terlampau lama ia sembunyikan keluar sepenuhnya.

Karena ternyata seperti inilah rasanya dibutuhkan dan dicintai. Seperti inilah rasanya kau memiliki keluarga lagi setelah kau hampir kehilangan segalanya---kehilangan wanita yang mengandungmu, dan bahkan membunuh ayahmu atas dukanya dan kehausannya akan darah yang telah lama menyulapnya menjadi gila dan linglung.

Dengan tanganmu sendiri,

demi menyelamatkan umat manusia yang bahkan tidak mengenalmu.

Ia baru saja mempersilahkan secercah harapan mengepul di dadanya, mungkin itu pilihan yang baik atau buruk? Alucard tak peduli lagi. Selama keluarganya–orang terdekatnya ada di sisinya.

Tak pernah sekalipun terlintas di benak Alucard bahwa kehangatan malam itu akan berubah secepat guntur ketika akhirnya ia terlelap.

Tubuhnya yang mula-mula rileks pun menegang, ia tak bisa bergerak bebas. Karena ia terjerat cambuk magis yang langsung meninggalkan bekas memar terbakar di kulitnya. Sengaja dijerat. Tatapan Sumi dan Taka yang sehangat fajar, kini berubah sedingin kutub Selatan. Bersamaan mereka menghunus belatinya tinggi-tinggi dan menargetkan jantungnya. Membenarkan tindakan mereka untuk membunuhnya, jika tak mau diperbudak. Namun, refleks dan instingnya memang selalu tajam dan gesit di saat-saat genting. Pedang magisnya telah terbang melayang menebas leher kedua muridnya itu secepat cahaya. Dan, sekali lagi untuk kedua kalinya dalam hidup, ia selalu ditakdirkan membunuh orang-orang yang dicintainya.

                                      ***

Ia tersentak. Mata vampirnya terbuka lebar waspada. Namun, air mata dingin yang mengalir membasahi pipinya tetap tak bisa disangkal. “Tinggalkanlah semua harapan..” rutuknya berbisik, lebih kepada dirinya sendiri, perlahan-lahan kembali mengatur napas. Telinga vampirnya berkedut, seolah menerima getaran sesuatu yang tak asing. Jemarinya refleks mencengkeram sprei.

Jantung manusia.

“....sejak kapan kau ada di sini…Belmont?”

tanyanya akhirnya setelah beberapa saat, tanpa menurunkan kewaspadaannya sedikit pun. Pedang magisnya spontan melayang di antara mereka dengan satu kibasan lihai jemarinya, seolah menjadi benteng utama. Hal ini jelas terpantul di pupil Nyssa dan Alucard. Meskipun mereka telah tinggal bersama di kastil selama beberapa bulan sebagai mentor dan murid, meskipun leluhurnya sendiri adalah karib dekatnya, atau bahkan mungkin keluarga sejatinya yang selalu dirindukan. Namun, bukan berarti Alucard juga siap memberikannya bentuk ‘kepercayaan’ ini.

                                          ***

“aku kesini untuk membawakanmu obat..” jelas Nyssa, membawa secangkir minuman di atas baki.

Keheningan kembali merambati mereka. Rambut merahnya menari-nari lembut diterpa angin malam dari jendela yang terbuka—lumayan kontras dengan gaun tunik putihnya yang sederhana. Namun, Nyssa tidak peduli. “...kuperhatikan kau sering bermimpi buruk, guru..? mungkin ini bisa membantu Anda..” rutuknya lagi setelah beberapa saat.

Alucard hanya melirik ke cangkir seraya mengendus lembut. Seringai getir dan sinis tersungging di bibirnya kemudian.

“Kenapa kau repot-repot membuatkanku ramuan matcha dan sengaja membuatku bernostalgia tentang para pengkhianat tidak tahu terimakasih itu Belmont..!? ha-ha..manis sekali, kau memang sangat perhatian.” Suara tawa parau dan sarkasme itu selalu berhasil menghujam Nyssa sampai ke ulu hati dan nyaris tak pernah gagal membuatnya kesal.

“Ya tuhan! Bisakah Anda berhenti menaruh rasa curiga pada setiap orang yang Anda temui!?”

“Jika Anda memaksa akan saya beri tahu. Saya.. memang belajar resep ini ketika berkelana ke Jepang dan bertemu dengan seorang geisha yang ternyata juga kitsune. Lalu ia mengajari saya. dan tenang saja, saya telah memodifikasi rasanya sehingga tak terlalu pahit seperti kemarin. Saya menambahkan campuran matcha, buah asam, mint dan madu!” jelasnya mendengus sebal sembari terus mengaduk minumannya di atas meja rias Alucard.

Ia merasakan pedang Alucard yang refleks berbalik arah di balik punggungnya, menguntit setiap langkahnya dan gerak-geriknya. Cukup untuk membuatnya merasa seperti penyusup amatir di pasar gelap Targoviste yang tertangkap basah. Penjaga dan pendeta sipil, tidak akan melepaskan tikus kecil sepertinya begitu saja. Kecuali dengan pancingan dan suapan kecil. Tiga kantong perak yang disulap dari kuku-kuku mayat.

Jadi, gagasan nakal itu sontak terlintas di benaknya. Nyssa menyeringai tipis dari balik rambutnya yang tergerai. Pertama-tama ia harus bernegosiasi dan berhasil mendapatkan kepercayaan mentornya itu.

“Dan bisakah Anda jangan terus memanggil saya dengan sebutan Belmont! Ya, Anda memang benar.. saya juga menyandang nama Belmont. Tapi saya juga memiliki nama!”

“Dasar Pak Tua!” maki Nyssa lirih menghembuskan napas panjang.

“Jadi, Anda mau meminumnya atau tidak?” tanyanya lagi mengangkat baki setelah selesai.

Sebelum Nyssa bisa menyadari, meja dan kursi di pojok ruangan telah bergeser ke depan dan ke belakangnya dalam ritme ketukan magis kuku-kuku Alucard yang elegan. Tanpa dipersilahkan Nyssa pun menaruh minuman ke meja dan duduk.

“Bagaimana aku bisa minum dengan tenang, kalau mulut kecilmu yang cerewet itu tak bisa diam!” balas Alucard ketus. Dahinya berkerut dan pandangan menyelidiknya tak pernah lepas dari cangkir.

Nyssa menyeringai kecil. “Jadi, Anda hanya mau menatapnya sampai pagi?”
Tanpa basa-basi, Nyssa meminum ramuannya dalam sekali teguk. Hanya sebagai pembuktian. Mata Alucard terus mengikuti, memicing dan menimbang gerak-geriknya.
“Saya akan sekarat dalam lima detik jika ini benar-benar racun.” ujar Nyssa ketus.

Alucard masih mengatupkan rahangnya kesal merasa kalah telak. Namun, akhirnya mengalah. “kenapa kau di sini..? bukankah aku sudah melarangmu masuk?!”

“Sebenarnya saya punya permintaan khusus..” Nyssa akhirnya mengutarakan niatnya setelah ketegangan di antara mereka menipis. “dan apa itu?” Alucard kembali mendengus, dengan malas ia kembali menjatuhkan diri ke tempat tidur tanpa melemahkan pertahanannya sedikit pun. Pedang peraknya masih melayang di udara sebagai pembatas tak terucap.

“Untuk melakukan penelitian. Meneliti Anda lebih tepatnya. Mengapa manusia begitu mudah luluh dan terbuai oleh bujuk rayu vampir dan seberapa besarkah dampak atau efeknya? Bujuk rayu yang saya maksud termasuk penanaman sugesti secara paksa atau hipnotis. “

Nyssa mondar-mandir, dahinya berkerut. Jelas berpikir dengan satu tangan menangkup dagunya. Sementara pedang Alucard di belakangnya berdesing lembut mengikutinya. “... dan benarkah bahwa spesies kalian mengeluarkan senyawa afrodisiak ketika kalian berbicara.. dan berhubungan intim?” Nyssa berhenti di tempat. Ia menoleh sekilas untuk melirik Alucard yang sekarang duduk di tepi ranjang dan nyaris ternganga menatapnya.

Nyssa pun mendengus panjang seraya tertawa sinis, “haha.. kenapa dengan wajah Anda? Apa Anda sangat percaya diri bahwa saya repot-repot ke kamar Anda untuk merayu lalu membunuh Anda begitu saja? Meskipun saya masih bisa melakukannya tanpa pedang kalau saya mau.”

Seringai nakal dan sinis sekilas tersungging dari ujung bibirnya. Namun, Nyssa cepat-cepat menetralkan wajahnya dengan berdehem. Ia tahu bahwa sekarang bukan waktu yang tepat untuk repot-repot memancing emosi mentornya itu, apalagi sampai meledeknya. Karena ini mungkin menjadi satu-satunya kesempatan bagi Nyssa untuk bernegosiasi dan menyempurnakan penelitiannya.

Mata Alucard menyipit, seolah menakar kata-kata muridnya itu. Sebelum mengembuskan napas panjang seolah menyerah. “haahhh.. apa ini gara-gara pertarunganmu dengan New Blood petang tadi?” tanya Alucard malas, anehnya juga bercampur dengan nada protektif yang tulus. Nyssa pun terbelalak membeku di tempat sejenak. “..bagaimana Anda tahu?” mata Nyssa otomatis menyipit-menyelidik.

“Cermin Jarak..” tukas Alucard bosan. Tangannya mengibas pelan mengangkat sebuah boks kayu Kokka berukir kuningan dari sebuah peti di seberang jendela yang mendarat mulus ke atas meja di hadapan Nyssa. Kotaknya terbuka dan serpihan kaca runcing kembali menyatu serentak, menampilkan cermin utuh dalam seperkian detik. Sebelum akhirnya tertutup kembali dengan satu kibasan tangan Alucard.

“cukup untuk berjaga-jaga dan menguntitmu diam-diam.” Alucard terkekeh penuh kemenangan. “Pengalamanku selama tiga generasi dengan Belmont telah mengajariku tentang seberapa bebal dan keras kepalanya mereka.” rutuk Alucard ketus setengah meledek. Nyssa pun seolah dilempar sebongkah batu tepat ke wajahnya. Romannya datar dan mengeras, kedua tangannya di kedua sisi meremas-remas gaun tidurnya, gamang.
Takut kalau misi pribadinya sampai terbongkar. Takut jika aktivitas konsolidasinya dengan Akwi terungkap. Namun, Alucard sendiri tampaknya tak terganggu sedikit pun. Apa itu karena ia belum mengetahuinya? Atau ia memang sangat lihai menyembunyikan fakta? Nyssa sendiri belum bisa menilai.

Ia pun mengambil napas panjang lalu menghembuskannya. Alih-alih menanggapi lelucon sarkastis agar Alucard bertambah antusias, Nyssa memilih melanjutkan perannya. “Ya, persis seperti yang Anda duga, Master..” Nyssa membukuk meletakan satu tangan di dadanya berpura-pura tersanjung. Meskipun sebenarnya ingin sekali merobek topeng congkak mentornya itu.

Mata keemasan Alucard menyipit dan pedang peraknya masih melayang di udara sebagai pembatas. Keheningan mulai menebal kembali, sebagian oleh ketegangan, sebagian oleh kecurigaan yang belum sirna, sebagiannya lebih terasa sebagai tuduhan. Seringai mengancam perlahan terbentuk dari sudut bibir Alucard, cukup untuk menampilkan salah satu taring runcing mentornya itu. “Dan pertanyaanmu soal afrodisiak..Phonyssa Afeta Belmont.. “ dia mendesis halus. “Teori yang cukup menarik, tapi daya tarik kami bukan soal kimia.. itu hanyalah feromon yang telah terbumbui oleh lapisan-lapisan mitos selama berabad-abad. Karena manusia itu sangat rentan dan mereka cenderung meromantisasi apa yang membuat mereka ketakutan lalu membuat kesimpulan sendiri.”

Tangannya berkedut sedikit mencengkeram sprei seraya bangkit, kuku tajamnya mengibas ringan ke arah Nyssa, mempersilahkan. “Tapi.. mari kita dengarkan hipotesismu dulu, Belmont..” perintahnya, akhirnya sudi meneguk ramuan tidur di atas meja yang mulai mendingin. Seringai puas diam-diam merayapi bibir Nyssa tatkala mendengar Alucard mendesah kecut karena rasa asam yang pasti telah membekukukan lidahnya sekarang.

“hipotesis jujurku tetap menegaskan bahwa kaum dan spesies Anda mengeluarkan semacam cairan yang mengandung senyawa afrodisiak baik secara sensual maupun seksual. Sayangnya, meskipun saya belum bisa memastikan seberapa besar dampak dan efeknya bagi manusia. Tapi beberapa catatan ilmiah terdahulu, termasuk jurnal milik Leon Belmont menampilkan data wawancara dengan lebih dari tiga ribu penyihir dari seluruh dunia sebagai subjeknya. Bahwa cairan vampir, yang berdarah murni lebih baik—Nyssa melirik tajam penuh konspirasi, sementara dahi Alucard mulai berkerut. Mentornya itu menggeliat tak nyaman di atas kasur, dan memunggunginya.

“..termasuk keringat, air liur atau.. bahkan sperma.. sering digunakan sebagai bahan utama pembuatan ramuan cinta dan santet. “ saya berasumsi ini sejenis tipe yang kuat dan memabukkan, bisa membuat korbannya kecanduan dan terhipnotis. Layaknya heroin.”

Alucard pun bangkit setelah beberapa saat. Mendengus panjang. Kemampuan Nyssa dalam sihir pencerita membuatnya mampu menerjemahkan dan menangkap emosi Alucard hanya dalam hitungan detik. Kesal, jengkel dan kagum.
Sebenarnya hal ini telah banyak membantu Nyssa sebagai kaum pencerita dan penjaga tradisi lisan, menyalurkan empati kepada para pendengarnya. Namun, siapa sangka kemampuannya ini juga memiliki peran krusial semacam ini. Membaca kompleksitas mentalitas mentornya sendiri :)

“Tak salah lagi. Seperti yang kuharapkan, Belmont dengan ketajaman Sypha Belnades. Kalian memang tak mudah disetir dan ditipu, ya ‘kan?” Alucard terkekeh getir, alisnya sedikit terangkat. Di samping topik pembicaraan serius mereka, Nyssa kini bisa menangkap ketertarikan bahkan mungkin antusiasme dari tatapan mentornya itu. “Kau tak salah.” Alucard mengaku seraya mengedikkan bahu, meskipun belum merendahkan pedangnya sejengkal pun.

“Cairan vampir memang ampuh, terutama saat momen intim. Salah satu kegunaannya berperan untuk memperkuat sugesti dalam kontrol pikiran maupun hipnotis.” Pandangannya menangkap Nyssa—kini pupilnya yang kebiruan telah berpendar penuh antusias. “Jadi apa Anda keberatan saya jadikan subjek, Master?”

Udara kamar seketika menegang. Cahaya dari lampu minyak berkedip, seolah ikut menahan napas. Alucard—yang sebelumnya tampak santai, meski selalu penuh kewaspadaan—mengangkat kepalanya dengan gerakan cepat dan terukur. Mata keemasannya langsung menohok tajam menghujam Nyssa, seakan membelah ruang untuk memastikan ia tak baru saja salah dengar.

“Menjadikanku subjek?” ulang Alucard perlahan, seakan menilai ulang tiap suku kata. Jari jemarinya yang pucat dan ramping dengan kuku-kuku tajamnya menelangkup dagunya. Ujung pedangnya turun sedikit, tapi tetap berada di antara mereka. “Kau ingin meneliti… spesiesku?”

Nyssa tidak mundur. Ia hanya menarik napas, lalu menambahkan dengan tenang, “Mungkin… itu juga yang membuat Lisa tertarik hingga menikahi ayah Anda. Dan… mungkin itu juga yang membawa saya ke sini malam ini.”

Itu adalah kebenaran dari sudut pandangnya—kebenaran yang dingin, ilmiah, dan tidak dibungkus drama. Namun penyebutan nama Lisa—ibu mentornya, Alucard—membuat perubahan halus muncul pada wajah vampir itu. Rahangnya menegang. Matanya berkedip lambat sekali, seperti hewan buas yang baru saja diusik.

“Kau berani membandingkan dirimu dengan ibuku,” katanya dengan suara yang tidak meninggi, namun justru jauh lebih berbahaya dalam intensitas serendah itu.

“Bukan begitu maksudku.” Nyssa sedikit memalingkan wajahnya, tak nyaman. Tapi kembali menatap Alucard—bagaimanapun ini kesempatannya---ia tak boleh mundur, terlebih lagi sudah sejauh ini. “Tapi aku seorang peneliti. Aku melakukan pekerjaanku. Untuk orang-orangku dan...untuk hidupku.” Tangannya mencengkram dada erat, merasakan degup jantungnya. “Dan saya punya hipotesis bahwa Taka dan Sumi melakukan hal yang sama sepertiku… namun mereka sengaja menutupi niatnya. Sementara saya—saya memilih terus terang.”

Itu adalah titik pertama di mana mentornya tampak ragu. Bukan ragu untuk mempercayainya, tetapi ragu untuk menyerang. Pupilnya bergerak ke kanan, seolah menimbang ulang pengkhianatan dua orang terdekatnya di masa lalu. Namun rasa ingin tahunya ini—atau kemarahan barunya—ironisnya malah membuatnya melangkah maju.

“Jadi menurutmu, kau lebih jujur daripada mereka,” katanya dingin. “Kalau begitu… apa yang ingin kau lakukan dengan ‘penelitian jujur’ mu itu?”

Nyssa tidak menjawab. Ia justru mengulurkan tangannya mencari validasi dan kepastian. Saatnya mengeluarkan senjata pamungkasnya.

“Ini kontraknya.” Tawarnya lantang, penuh percaya diri. Ia menyeringai tipis.

Mentornya menatap tangan itu bak senjata baru yang asing dan belum diketahui bagaimana cara menangkalnya.

“Barangkali hasil riset ini memang menakutkan bagi mereka. Mungkin itu sebabnya mereka ingin membunuh Anda sebelum selesai. Selama bertahun-tahun manusia jatuh ke dalam mimpi buruk mereka sendiri. Perbudakan oleh spesies Anda, itu adalah masa lalu yang tak pernah bisa kami lupakan.”

Nyssa mengucapkannya datar, persis seperti mencatat hasil eksperimen. “Tapi Anda masih berguna dalam pengetahuan alkimia dan sains. Bukan hanya untuk saya, tapi mungkin untuk generasi kami mendatang. Jadi saya tidak akan membunuh Anda.”

Ia menarik napas. “Di sisi lain… Anda boleh saja membunuh saya kalau saya ketakutan di tengah proses, sama seperti mereka. Dan.. memanfaatkan jantung saya.” Pupil Alucard menyipit dan menajam mendengar kata-kata itu, walaupun hanya dalam beberapa detik. Seolah tersugesti.

“Kita sebut saja ini perjanjian yang adil.” Tukas Nyssa tegas. Sekarang penuh tekad. Ia mengulurkan tangannya lebih jauh. “Jika Anda setuju, Master. Saya akan menjelaskan bagaimana prosedur penelitiannya pada Anda.”

Alucard terdiam lama. Sangat lama. Hingga akhirnya pedang di tangannya bergetar pelan—lalu menguap dalam wujud kabut. “…Kau mempertaruhkan nyawamu hanya untuk menguji reaksiku?” Katanya akhirnya, hampir tidak terdengar. Namun, seringai buas tersungging di bibirnya. Mengindikasikan bahwa ia menantang, tidak menolak.

“Baiklah.” Alucard mendekat, ia mungkin tak menerima jabatan tangan Nyssa—belum. Tapi setidaknya menurunkan wajahnya sejajar dengan Nyssa. “Tapi jika kau berteriak atau panik di tengah jalan… jangan harap ada belas kasihan.” Bibirnya itu melengkung layaknya bayangan pisau yang tersenyum.

Di luar dugaan, Nyssa justru nyaris melonjak kegirangan. Alis Alucard terangkat heran menatapnya. Tapi Nyssa tak ambil pusing dengan reaksi mentornya itu. Ia langsung berlari ke seberang ruangan—ke kamarnya dan kembali dengan segulung perkamen riset di tangannya.

Nyssa pun mulai menjelaskan dengan bersemangat “Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya. Penelitian saya ini bertujuan mencari tahu seberapa besar pengaruh atau dampak romansa vampir terhadap manusia. Termasuk teknik sugesti yang sering mereka andalkan. Hipnotis.” Ia berhenti sebentar, memastikan mentornya itu mendengarkan.

“Dan langkah pertama yang saya pertimbangkan adalah.. membuat Anda jatuh cinta pada saya. Agar Anda bisa bertindak alami. Tapi.. saya juga ingin membandingkan hasilnya dengan kondisi di mana Anda tidak perlu mencintai saya. Melainkan, ada niat terselubung. Menggoda untuk tujuan riset.”

Nyssa mengangkat alat monitor detak jantungnya. “Pertama, saya akan mencoba mengukur reaksi fisiologis saya terhadap hipnotis Anda.”

“Jadi… tolong, sekarang. Cobalah merayu...”

Untuk sesaat, Nyssa jelas gelisah dan berpikir Alucard akan menertawai permintaan itu. Namun yang terjadi jauh lebih berbahaya dari rasa malu atau tawa.

Rahang Alucard mengeras. Mata keemasannya meruncing, bukan marah, tetapi… menikmati tantangannya. Ketika ia melangkah maju dalam satu kedipan mata, Nyssa merasakan seluruh ruangan berubah iklim—seolah udara menempel di kulitnya. “Merayumu...?” Gumam Alucard, suaranya menurun hingga menjadi sehalus dan setajam silet. “Untuk sains.” Ia mendekat. Telapak tangannya mendongakkan dagu Nyssa ke atas agar menatap kedua pupilnya yang keemasan membakar. Sentuhan kuku panjangnya nyaris menggores kulit.

“Baiklah.” Satu kata saja cukup membuat Nyssa menegang. Namun jelas, ia tidak siap untuk yang terjadi setelahnya. Alucard tak berbicara melainkan lebih mengerikan lagi ia menembus pikiran Nyssa. “Apa aku menakutimu?” Kata-kata itu tidak terdengar—tetapi terasa, meluncur dan menembus halus bagai kuman dan parasit—langsung ke alam bawah sadarnya, mempengaruhi sistem limbik dan sebaliknya, menekan saraf-saraf halus yang seharusnya kebal terhadap rangsangan verbal. Mengambil alih perfontal korteks secara perlahan-lahan. Dan kemudian, dengan bibirnya berjarak hanya sehelai napas dari telinga Nyssa, Alucard berbisik secara fisik:

“Atau justru… keberadaanku membangkitkan sesuatu yang lain?”
Nyssa terengah—bukan karena hasrat, tetapi karena tubuhnya menolak segala mekanisme logis untuk tetap tenang.

Monitor detak jantungnya bergetar keras.

150 bpm.

Ia merasakan dirinya hampir membalas rayuan kematian itu. “Ya?”
Bibirnya sedikit terbuka. Terlena—hampir memberikan persetujuan. Insting itu jelas buatan dan bukan miliknya.

“Cukup!” Serunya, tersentak mundur.

Alucard juga demikian, menarik kembali telepati dan niatnya. Sikapnya berubah menjadi netral, tetapi matanya mengamati jarum monitor jantung Nyssa yang masih naik-turun dengan liarnya.

“Seratus lima puluh,” katanya datar. “Lonjakan yang signifikan.” Alucard mengangkat alis.

“…Jadi begitulah efeknya.” Tukasnya sinis. Namun melembut kala menambahkan, “Kau memintanya sendiri, tapi lantas panik ketika berhasil. Kau sungguh sangat… manusiawi.” Nyssa memalingkan wajah, mencatat data dengan pena yang bergetar dan napas yang masih belum stabil. “Cukup untuk hari keseratus.”

Nyssa menarik napas, lalu—untuk kedua kalinya malam itu—mengatakan sesuatu yang membuat Alucard mengaktifkan insting pemburunya.

“Sebenarnya aku sudah mengamatimu sejak hari pertama aku tiba.”

Alucard menatapnya lama sekali, dahinya berkerut, Nyssa bisa memaklumi dan memahami bahwa tindakannya ini membuat mentornya tak nyaman atau kesal. Namun, sepertinya Alucard masih memilih mengalah dan akhirnya bertanya, “…Apa lagi yang sudah berhasil kau temukan?”

Nyssa menutup bukunya. Anehnya, ia mendapati rasa penasaran dan pengertian yang tulus dari tatapan mentornya itu. Itu sedikit memberikan Nyssa kelegaan dan harapan.

“Sebuah formula untuk menaklukanmu. Ini lebih merupakan cara untuk menghindari manipulasi vampire. Teknik, bukan mantra. Seperti mengalihkan pikiranmu dengan ayat-ayat atau pujian untuk menolak sugesti vampir. Dan saya juga telah berhasil membuat ramuan penetralisir air liur mereka. Salah satunya seperti yang Anda minum tadi, tapi tenang saja karena bahan-bahannya juga sudah saya modifikasi dengan herbal alami berkhasiat seperti mint, asam jawa, matcha dan madu sebagai obat relaksasi Anda. Jadi, secara teknis itu tak hanya mampu menetralkan air liur, tetapi juga sebagai ramuan relaksasi dan terapi sistem saraf otak pasca trauma!”

Kesalahan terbesar Nyssa adalah tidak menyadari bagaimana antusiasmenya itu terdengar. Alucard berubah bak ancaman yang berwujud. Ia berdiri, cape hitamnya di seberang jendela tiba-tiba jatuh tersibak dari tiang gantungannya seakan teresonasi oleh emosinya dan tatapan keemasannya berubah menjadi api.

“Formula… untuk menjinakkanku?” Alucard mendesis pelan.

Nyssa nyaris mengutuk dirinya sendiri. Salah memilih kata. “Aku tak bermaksud—”

“Kau pikir aku alkimia—atau subjekmu?” Suaranya senyap, tetapi mampu menyayat udara. “Kau pikir aku hanya binatang buas yang bisa kau jinakkan? Belmont..?”

Ia melangkah. Tidak cepat. Tidak meledak. Tapi justru itulah yang membuat Nyssa sadar ia telah melewati batas.

“Taka dan Sumi setidaknya berbohong. Mereka pura-pura peduli. Pura-pura menghormati.” Ia berhenti hanya selangkah dari Nyssa, mengintimidasi dengan tingginya.

“Tapi kau… mengatakan niatmu tanpa trepidasi sedikit pun.” Senyum dingin melintas dalam sekejap.

“Keluar.”

Kata itu menghantam Nyssa lebih keras dari telepati manapun. Dan entah bagaimana pada detik berikutnya Nyssa telah terdorong menjauh keluar kamar dalam satu kibasan telunjuk Alucard—sebelum membanting pintu tepat di depan wajah pucat Nyssa.

“....Sial..” Gertak Nyssa pada diri sendiri.

Bersambung..


English Version Translation:





                                  Castlevania: The Holy Heart 

                         (Chapter 2: Little Intruder)

Wallachia, 1631

“So you’re still awake…” Sumi muttered from the doorway, her white nightgown swaying lightly as she stepped inside. “May I come in?” She approached and tugged the drawstring; the canopy curtains lifted automatically a heartbeat later.

For a moment, the seduction of death felt comforting. Warm. As if he finally had a home again. Sumi—an oriental girl from the land of the rising sun, with shoulder-length black hair—sat on the edge of his bed. Taka, her fellow student and close friend, followed soon after.

“It seems a bit too early for me to sleep,” Alucard replied, chuckling softly as he welcomed them.

“We couldn’t sleep either… may we lie down? We always feel calm when we’re close to you,” Sumi whispered, wrapping her arms around him. Taka leaned his shoulder against the bedframe, looking just as serene.

“You may be human, but Dracula’s blood runs in your veins. You are brilliant, long-lived, agile, and strong. You inherit the Belmonts’ human science and Dracula’s sorcery at once.” Sumi’s fingertips brushed his cheekbones, then glided down to his chin. Her eyes narrowed gently. “How can someone like you… always be alone? You do not even keep a single servant. Not one slave.”

A heavy silence thickened between them, like a blade waiting to be drawn.

“…What makes you so sad? What are you hiding from us?”

Sumi’s gaze pierced into the molten gold of his eyes, and Alucard returned it with a tender smile. “I used to be alone,” he murmured. “But now… perhaps… not anymore?” His fingers moved to trace hers. For a moment, Alucard softened entirely—he pulled Sumi closer, letting the vulnerability he had buried for so long spill out.

Because this—this must be what it feels like to be needed. To be loved. To have a family again after losing everything—after losing the woman who carried him, and later killing his own father, driven mad by grief and bloodlust.

With his own hands.

To save humankind that never even knew him.

A tiny ember of hope began to glow in his chest. Whether that was wise or foolish—Alucard no longer cared. As long as his family—those closest to him—stayed by his side.

Not once did it cross his mind that the warmth of that night would vanish as quickly as thunder the moment he drifted into sleep.

His once-relaxed body tensed suddenly. He couldn’t move. A magical whip coiled around him, burning his skin with instant welts. He had been bound on purpose. The warmth in Sumi and Taka’s eyes was gone—now colder than the polar ice. In unison they raised their daggers high, aiming for his heart, justifying their betrayal: kill him rather than serve him.

But his reflexes—his instincts—had always been razor sharp. His enchanted sword flew like a streak of light, severing both their heads before the blades could reach him.

And once again, for the second time in his life, he was destined to kill the ones he loved.


                                        ***

He jolted awake. His vampiric eyes snapped open, instinctively alert. Yet the cold tears sliding down his cheeks could not be denied.

“Abandon all hope…” he whispered to himself, forcing his breath to steady. His ears twitched—catching a vibration he recognized. His fingers clenched the bedsheet.

A human heartbeat.

“…How long have you been here… Belmont?” he asked at last, never lowering his guard. His sword floated instantly between them at the flick of a finger, a silent barrier. It was reflected clearly in both their pupils. Despite living together for months as mentor and student, despite Nyssa being descended from his closest friend—perhaps even his truest family—trust was something Alucard was never ready to give.


                                      ***

“I came to bring you medicine…” Nyssa explained, carrying a cup on a tray.

Silence uncoiled between them again. Her red hair fluttered in the breeze from the open window, contrasting with her simple white tunic. She did not seem to care.

“I’ve noticed you often have nightmares, Master… I thought this might help,” she murmured after a pause.

Alucard glanced at the cup, sniffed lightly, then let out a sharp, bitter laugh.

“You went out of your way to make me a matcha tonic—and remind me of those ungrateful traitors at the same time, Belmont? How sweet. You are very thoughtful.” His dry, sarcastic laugh hit Nyssa like a punch to the gut, as always.

“For heaven’s sake! Could you stop doubting every person you meet!?”

“If you must know, I learned the recipe while traveling in Japan. From a geisha—who was also a kitsune. She taught me. And don’t worry, I modified the recipe so it’s not as bitter as yesterday. I added matcha, tamarind, mint, and honey!” she grumbled, stirring the drink with clear annoyance at his vanity.

She could feel his sword tracking her from behind, shadowing every step like a predator tailing prey. Enough to make her feel like an amateur smuggler caught in Targoviste’s black market—where guards never let a little rat escape unless bribed with three silver pouches carved from a corpse’s nails.

So a wicked idea sparked in her mind. Nyssa smirked from behind her falling hair. First, she needed to negotiate. And win her mentor’s trust.

“And could you stop calling me Belmont? Yes, you’re right, I am a Belmont. But I also have a name.”

“Old man,” Nyssa muttered under her breath.

“So? Are you going to drink it or not?” she asked again, lifting the tray.

Before she realized it, the table and chair glided across the room at Alucard’s command, positioning themselves in front of and behind her. She set the cup down and took a seat.

“How am I supposed to drink in peace when your tiny, noisy mouth won’t stay shut?” he snapped. His eyes never left the cup.

Nyssa smirked faintly. “So you plan on staring at it until morning?”

Without warning, she picked up the drink and swallowed it in one gulp. Alucard’s eyes followed every movement, sharp and calculating.

“I’d be dead in five seconds if this were poison,” she grumbled.

Alucard gritted his teeth—he hated losing—but finally relented. “Why are you here? I told you not to enter.”

“…I actually have a special request,” Nyssa admitted once the tension eased. “And what is it?” he asked, dropping onto the bed again, though his sword remained suspended between them.

“For research. To study you, to be precise. I want to know why humans so easily fall under a vampire’s persuasion—and how strong that effect is. Including forced suggestion or hypnosis.”

Nyssa paced, one hand on her chin, thinking. The sword hummed behind her.

“…And is it true that your species releases an aphrodisiac compound when you speak… or during intimacy?” She froze, glancing at Alucard—who now sat on the bed, nearly slack-jawed.

She snorted. “What’s with that face? Do you really think I came here to seduce you and kill you? Although I still could do it without a sword, if I wanted.”

A sly, taunting grin flickered across her lips before she cleared her throat and forced her expression back to neutral. Now wasn’t the time to provoke him.

Alucard narrowed his eyes, assessing her words, then sighed. “Is this because of your fight with New Blood earlier?” His tone was both annoyed and oddly protective.

Nyssa stiffened. “How do you know?” she asked sharply.

“Long-distance mirror,” he said flatly. With a flick of his hand, a wooden box carved with golden kokka rose from across the room and landed on the table. The shattered shards inside reassembled instantly into a polished mirror before closing again.

“Just enough to keep watch on you.” Alucard chuckled triumphantly. “Three generations of dealing with Belmonts have taught me how stubborn they are.”

Nyssa felt as though a stone had been hurled at her face. Her hands clenched the fabric of her nightgown. Fear prickled her spine—fear that her personal mission with Akwi might be discovered.

But Alucard seemed unconcerned. Did he truly not know? Or was he hiding it? She couldn’t tell.

She took a breath. “Yes, exactly as you guessed, Master…” She bowed theatrically with one hand on her chest—though she longed to tear that smug look off his face.

Alucard’s golden eyes narrowed again, his sword still floating as a barrier. Silence thickened once more—part suspicion, part tension, part accusation. A threatening smirk pulled at his lips, revealing a fang. “And your question about aphrodisiacs… Phonyssa Afeta Belmont…”

He hissed the name.

“An interesting theory. But our allure isn’t chemistry. It’s simply pheromones—mythologized for centuries by humans who are fragile, romanticize their fears, and jump to conclusions.”

His clawed hand twitched, gesturing for her to continue. “But go on. Let’s hear your hypothesis, Belmont.”

He finally took a sip of the now-lukewarm tonic. Nyssa’s smile twitched in satisfaction as he winced at the sourness.

“My honest hypothesis is that your species secretes a substance containing aphrodisiac properties—sensually and sexually. I’m unsure of the exact magnitude, but older scholarly notes—including Leon Belmont’s journal—record interviews with over three thousand witches worldwide. Vampire fluids—especially from purebloods—”

Nyssa shot him a conspiratorial glance. His brow tightened. He shifted uncomfortably.

“…including sweat, saliva, even… semen… have long been used in love potions and curses. I assume the substance is potent and intoxicating—addictive, hypnotic. Like heroin.”

After a beat, Alucard exhaled sharply. Nyssa’s storytelling magic allowed her to sense his emotions instantly: irritation, disbelief… and admiration.

“Of course,” Alucard muttered. “A Belmont with Sypha Belnades’ sharpness. You’re not easy to manipulate.”

There was genuine interest now in his gaze.

“You’re not wrong,” he admitted. “Vampire secretions are potent—especially during intimacy. They strengthen suggestion and mind control.”

Nyssa’s eyes lit up.

“So,” she said, tilting her head, “would you mind if I used you as a subject, Master?”

The air in the room snapped tight. The oil lamp flickered, as if holding its breath. Alucard lifted his head sharply, golden eyes drilling into her.

“Use me… as your subject?” he repeated, slow and measured. His fingers tapped his chin. The sword dipped slightly, but remained between them. “You wish to study my species?”

Nyssa didn’t flinch. She inhaled once.

“Perhaps… that is also what attracted Lisa to your father. And… perhaps that is what brings me to you tonight.”

It was a clinical truth from her perspective. But the mention of Lisa—his mother—triggered a subtle shift in Alucard's expression. His jaw tightened. His eyes narrowed like a beast disturbed in its den.

“You dare compare yourself to my mother,” he said—not loud, but far more dangerous for that reason.

“That’s not what I meant.” Nyssa turned her gaze away briefly, then squared herself again. She had come too far to retreat now. “I’m a researcher. I do my work. For my people and… “For my life.” Her hand clutched her chest tightly, feeling the thundering pulse beneath her palm. “And I have a hypothesis that Taka and Sumi did the same thing I did… except they hid their intentions. While I—” she drew a slow breath, “I prefer honesty.”

It was the first moment her mentor appeared uncertain. Not uncertain about believing her, but uncertain about striking her. His pupils shifted to the right, as if reassessing the betrayal of the two people once closest to him. But that very doubt—his curiosity, or perhaps his newly awakened anger—ironically brought him a step closer.

“So you believe yourself more honest than they were,” he said coldly. “Then tell me… what exactly do you intend to do with this ‘honest research’ of yours?”

Nyssa didn’t answer. Instead, she extended her hand toward him, seeking both validation and certainty. It was time to bring out her ultimate weapon.

“This is the contract.” She offered it boldly, her confidence unwavering. A thin grin curved on her lips.

Her mentor regarded that outstretched hand as though it were some new, unfamiliar weapon whose function he had yet to decipher.

“Perhaps the results of this research truly frightened them,” she continued. “Maybe that’s why they wanted to kill you before it was finished. For years, humans have fallen into their own nightmares. Enslavement by your kind… that is a past we can never forget.”

Nyssa spoke in a flat, clinical tone, as if merely reading out experimental data. “But you still hold value in alchemy and science. Not only to me, but perhaps to future generations as well. So I will not kill you.”

She inhaled lightly. “On the other hand… you’re free to kill me if I get frightened halfway through—just like they did. And… use my heart.”

Alucard’s pupils tightened, sharpening for a brief second at those words. As if the suggestion itself tempted him.

“Let’s call this a fair agreement,” Nyssa concluded firmly, resolve lighting her voice. She extended her hand even farther. “If you accept, Master, I will explain the research procedures to you.”

Alucard remained silent. For a long, long moment. Until finally, the sword in his hand shivered slightly—then dissolved into mist. “…You’re risking your life just to test my reaction?” he murmured at last, almost too quietly to catch. Yet a feral smirk ghosted across his lips. Not rejection—challenge.

“Very well.” Alucard stepped closer, not quite accepting her handshake—yet. But he lowered himself until his face aligned with hers. “But if you scream or panic halfway through… do not expect mercy.” His smile curved like the edge of a blade pleased with its own sharpness.

Unexpectedly, Nyssa nearly jumped in excitement. Alucard’s eyebrow rose at her reaction, baffled, but she paid it no mind. She darted across the room—into her quarters, then returned with a rolled parchment clutched in her hands.

She began explaining, breathless with enthusiasm. “As I mentioned earlier, this research aims to determine the magnitude of a vampire’s romantic influence over humans. Including the suggestion techniques your kind frequently employs. Hypnosis.” She paused briefly, ensuring he was listening.

“And the first step I considered was… making you fall in love with me. So you would behave naturally. But I also want a comparative condition—where you don’t need to love me. Instead, where there is an ulterior motive. Seduction for the sake of research.”

Nyssa held up her heart-rate monitor. “First, I want to measure my physiological response to your hypnosis.”

“So… please, now. Try seducing me…”

For a moment, Nyssa was certain Alucard would laugh at the absurdity of the request. But what followed was far more dangerous than embarrassment or laughter.

Alucard’s jaw tightened. His golden eyes narrowed—not in anger, but in appreciation of the challenge. With a single blink, he stepped forward, and Nyssa felt the room shift in climate—air clinging to her skin.

“Seducing you…?” Alucard murmured, his voice dropping into a whisper so smooth and deadly it could slice flesh. “For science.”

He approached. His palm lifted her chin, forcing her to meet the burning gold of his pupils. The tips of his claws skimmed dangerously close to her skin.

“Very well.”

That single word alone made Nyssa tense. But she was utterly unprepared for what came next.

Alucard didn’t speak.

Something far more terrifying happened—he slipped directly into her mind.

Are you afraid of me?

The words were not heard—they were felt, seeping into her like fine dust—like a parasite—straight into her subconscious, manipulating her limbic system, suppressing nerves that should have been immune to verbal triggers. Gradually overriding her prefrontal cortex. And then, with his lips a breath away from her ear, Alucard whispered aloud:

“Or does my presence… awaken something else in you?”

Nyssa gasped—not out of desire, but because her body refused every logical mechanism that should have kept her calm.

Her heart-rate monitor spasmed violently.

150 bpm.

She felt herself nearly answering that seductive death. “Y-yes…?”

Her lips parted—entranced, on the cusp of surrender. Instincts that were clearly manufactured, not her own.

“Enough!” she shouted, stumbling backward.

Alucard also withdrew, pulling back both his telepathy and his intent. His expression regained neutrality, but his gaze tracked the frenzied dance of the monitor’s needle.

“One hundred fifty,” he stated flatly. “A significant spike.”

He lifted an eyebrow.

“So that is the effect,” he said with cold amusement. Then, softer—almost indulgent, “You asked for it yourself, but panicked when it worked. You are… exceedingly human.”

Nyssa turned her face away, jotting down the data with unsteady hands and breath. “That’s enough for day one hundred.”

Nyssa inhaled again, then—for the second time that night—uttered something that reactivated Alucard’s predatory instincts.

“Actually, I’ve been observing you since my first day here.”

Alucard stared at her for a long while, brow furrowing. Nyssa could understand why her statement unsettled him—perhaps even irritated him. Still, he restrained himself and eventually asked,

“…And what else have you discovered?”

Nyssa closed her notebook. Strangely, she found genuine curiosity—and a hint of understanding—in his gaze. It offered her a sliver of comfort. And hope.

“A formula to tame you,” she said. “It’s more a method to resist vampire manipulation. A technique, not a spell. Like distracting your mind with verses or praises to reject hypnotic influence. And I also created a neutralizing potion for vampire saliva. One of them is what you drank earlier, though don’t worry—I modified the ingredients using natural herbal remedies such as mint, tamarind, matcha, and honey for your relaxation. So technically, it doesn’t only neutralize saliva, but also serves as a relaxation and post-trauma neural therapy tonic.”

Nyssa’s mistake was failing to realize how her excitement sounded aloud.

Alucard’s entire presence shifted into something predatory. He rose to his feet. His black cape by the window suddenly dropped from its hook as if resonating with his fury. His golden eyes ignited like flame.

“A formula… to tame me?” Alucard hissed.

Nyssa cursed herself internally. Wrong choice of words. “I didn’t mean—”

“You think I’m alchemy—your experiment?” His voice was low, slicing through the room like a blade. “You think I am some beast you can domesticate? Belmont…?”

He took a step. Not fast. Not explosive.
And that was exactly what made Nyssa realize she had crossed the line.

“Taka and Sumi at least lied. They pretended to care. Pretended to respect.”

He stopped one step away from her, towering, suffocating in his presence.

“But you… you speak your intentions without a shred of trepidation.” A cold smile flickered.

“Get out.”

The word struck Nyssa harder than any telepathy.
And in the next instant, she found herself shoved out of the room with a single flick of Alucard’s finger—
before the door slammed shut in her pale face.

“…Damn it…” Nyssa muttered under her breath.





To be continued...










Novel's Project: Castlevania The Holy Heart, Cpt 1: Yang akan datang di masa depan (Sample Testing)

Novel's Project: Castlevania The Holy Heart, Cpt 1: Yang akan datang di masa depan (Sample Testing)

 


Vvhh

Ilustrasi: Alucard, Phonyssa, The church, Red-lips Lady, Hofifa, Lisa, Dracula.




Catatan bagi Pembaca: Kisah ini terjadi jauh sebelum meledaknya revolusi Perancis tahun 1792, maupun bangkitnya tirani Erzabeth Bathory sebagai Sekhmet, Jauh Sebelum Richter Belmont, Maria dan Aneth, pahlawan kita terlahir…


Melainkan, ramalan ini telah diberitakan sejak 300 tahun sebelumnya….


Biografi Singkat Karakter Utama: 


Adrian Farenheit Tepes (Alucard): dalam serial film originalnya Castlevania diinformasikan lahir sekitar pertengahan tahun 1450-an. Ciri-ciri fisiknya berkulit pucat, mata keemesan dengan rambut putih panjang yang ikal. Ayahnya Lord Dracula Tepes dan ibunya seorang manusia bernama Lisa, seorang dokter dari desa kecil bernama Lupu, yang ada di wilayah kerajaan Wallachia. Sekarang di era modern termasuk ke wilayah Romania. Darah campurannya, menjadikan Alucard lahir sebagai Dhampire (setengah manusia setengah Vampir) Namun, khusus dalam cerita ini, setelah ia terlibat perang berdarah dengan misi membunuh ayahnya yang mengamuk menggenosida umat manusia setelah kematian ibunya, yang dibakar oleh gereja dan dituduh sebagai penyihir (yang di mana bagian narasi ini juga terdapat dalam cerita aslinya) Alucard pun bertransformasi menjadi Vampir sepenuhnya dan mewarisi Kastil Dracula di Wallachia. 



Phonyssa Afeta Belmont: Ini adalah karakter penggemar utama yang dibuat oleh penulis dalam cerita ini. Lahir setelah 133 tahun setelah perang melawan Dracula usai. Berambut kemerahan teh jahe dan bermata biru laut, seperti leluhurnya Sypha. Saat usianya menginjak 18 tahun ia pun memilih jalan hidupnya dengan mendalami pengetahuan-pengetahuan rahasia, termasuk sejarah dan sihir. Ia kemudian bergabung dengan kaum Pencerita (Speaker) dari garis leluhur ibunya–Sypha Belmont, alih-alih menjadi pemburu vampir sebagaimana leluhurnya dari garis ayah–Trevor Belmont. Yang kedua leluhurnya itu adalah teman seperjuangan Alucard mengalahkan Dracula di masa lalu.



Moving Castle (Kastil Dracula)



Wallachia, 1477



Seekor gagak bermata biru bak api yang menari-nari hinggap di salah satu Jendela batu menara, segulung perkamen diikat pita biru navy terselip di paruhnya. Alucard mendengus, sejurus sebelum seringai lembut tampak. Gagak ini jelas bukan gagak biasa, matanya nyaris seperti warna mata Sypa, gadis speaker ceria dan berani yang selama ini sangat ia kenal. Gagak itu berhamburan menjadi bulu di udara sejurus setelah gulungan perkamen itu jatuh ke tangan alucard. Ia membuka ikatannya dengan satu jentikan jari. 


Guliran suara dari si penulis surat mulai bergema memenuhi udara, bersamaan dengan frasa-frasa magis yang menyala keemasan bergulir keluar melingkupi tubuhnya. Ia pun menutup matanya, mendengarkan dengan khidmat, tanpa sadar menyandarkan kepalanya ke kursi.



Trevor Belmont.


“Hei.. blonde pucat bagaimana kabarmu? Kuharap kau tidak merengek dan mulai menangisi kami atau…mulai mengobrol dan bercinta dengan dinding, karena aku berharap masih bisa menebas pantatmu dengan cambukku lagi…”


Sypha Belmont. 


“Oh.. jangan dengarkan berandalan brengsek itu alucard.. dia merindukanmu! Hanya terlalu gengsi!” 


Tawa mereka berdua kemudian menggema ke ruangan. 


Trevor Belmont.

“Ya, jadi setidaknya kami berharap, kau terus hidup pak Tua, sampai keturunan di setiap generasi kami bisa mengenalmu.. dan, ya jangan lupa untuk menceritakan kepada cucu-cucuku nanti bagian ter-epiknya! Ketika Trevor Belmont degan gagah berani menaklukan kematian!”


Sypha Belmont.

“Kau ini cerewet sekali rupanya! Kalau kau benar-benar tewas bagaimana?!”


Trevor Belmont. 

“Ah! Hidungku!”

Tawa mereka pun menggema sekali lagi.. 

Dalam sebuah kebisingan yang hangat akhirnya ia bisa merasa kembali ke rumah.. ia nyaris bisa merekam penuh di kepalanya, bagaimana mereka berdua menulis surat ini untuknya. 


Trevor Belmont.

“Sypa sedang hamil alucard..dan coba tebak apa yang ia semalam mimpikan..!”


Sypha Belmont.

“Kami akan menjadi orang tua, dan kau akan segera jadi paman! Yaahuuu!”

Alucard menyeringai tipis, memang dasar mereka orang tua yang tidak pernah tumbuh dewasa.


Trevor Belmont.

Dia bermimpi tentang yang datang di masa depan.. keturunanku, bisa dibilang.. dia akan menemuimu dan akhirnya kita akan berjalan lagi berdampingan… membawa sebuah misi khusus.. yang satu perempuan berambut merah seperti bara apiku, sedang matanya, mungkin akan sebiru mata Sypa, dan satu lagi, laki-laki, berambut gelap dan agak kekanak-kanakan.. aku ingin kau menjaga dan membimbing mereka Blonde Pucat..”


Sypha Belmond.

“Dan hati-hati dengan yang berambut merah ini, alucard.. karena dia mungkin memiliki mata dan senyum yang selembut diriku, namun, keras kepala dan lidah tajamnya milik Belmont dan itu mungkin akan sering membuatmu kesal..Kami tidak tahu kapan kepastian kelahirannya, namun, yang berambut merah ini dikabarkan akan lebih dulu datang..”


Alucard akhirnya bangkit, bersamaan guliran frasa itu kembali terserap ke perkamen dan suaranya pun lenyap dari udara, kuku-kuku panjangnya mengetuk-ngetuk meja ek dengan bordiran emas, menopang dagunya dengan satu lengannya. Senyum tipis pun tersungging di bibirnya,” baiklah.. aku akan menunggu mereka..”


                                            ***



Brosov, Rumania, 1631



“Nyssa, Aku menerima surat lagi dari Akwi petang ini. Gagak-gagaknya terus mengitari rumahku dan kemudian tiba-tiba saja sudah bertengger di perapian..” ucap Jackson, laki-laki parubaya penebang kayu, menyerahkan secarik perkamen yang terikat. Setidaknya dia seorang simpatisan dan tidak menghakimi mereka, seperti kebanyakan orang-orang yang mengaku suci. 


“Bukannya aku tidak mau membantu kalian Nyssa, sungguh. Tapi ini terlalu berisiko, mengapa Akwi tidak langsung mengutus gagaknya ke Moving Castle yang legendaris itu?” Tanyanya menyilangkan tangan. 


“Itu juga tidak bisa kami lakukan Jackson, terlalu berbahaya..” jawabnya, keheningan menebal sesaat di antara mereka, sebelum akhirnya Nyssa angkat bicara lagi ,”apapun yang telah kau lakukan Jackson, kami juga sangat berterima kasih padamu, lain kali akan kukirimkan gagakku lagi untuk mengantarkan obat cacar bagi putrimu.” Nyssa tersenyum dari ambang pintu, jemarinya memegang engsel kayu, rambut merahnya agak tersibak dari balik jubah dinginnya akibat pintu yang sedikit di buka, mengizinkan angin musim dingin masuk ke ruangan. 


“Cacarnya sudah kering Nyssa, tinggal memulihkan bekas lukanya.” Tatapan pria itu melembut lagi menatap mata kebiruan Nyssa. “Terima kasih.” 


Nyssa hanya membalasnya dengan senyuman lembut sebelum ia melangkah keluar. Ketika ia berbelok ke gang sempit, barulah ia membuka surat dari Akwi, tetua Kaum Pencerita. Perkamennya dipenuhi simbol-simbol gylph magis yang hanya bisa dipahami sesama pencerita. 


“Ostende Illud!” 

Sejurus kemudian simbol-simbol gylph tinta di atas perkamen menyala berwarna-warni bersamaan dengan mata kebiruan Nyssa yang ikut menyala kala mengaktifkan mantra. Teks-teks yang sudah ter-enkripsi ke terjemahan asli pun mulai terukir di udara. 


Ingat tujuanmu Nyssa.” Tujuanmu adalah mengembalikan lagi nurani Sang abadi. Adrian Farenheit Tepes, Alucard..


 seperti yang dilakukan Lisa kepada ayahnya, Vlad Dracula Tepes. Tapi, hati-hati jangan sampai ia membaca niatmu..” 


“Dan berhati-hatilah melakukan pertarungan dengan vampir di tempat terbuka, jangan sampai menarik banyak perhatian. Aku tidak mau kedamaian kita terganggu ketika terjadi bentrokan dengan gereja dan hindarilah berkelana setelah petang sendirian..


Jaga dirimu, Nak..” 


Nyssa menyeringai getir menelengkan kepalanya, menghembuskan napas panjang, berusaha menguatkan hatinya. Karena ia tahu, ia telah melanggar perintah ketiga Akwi, yaitu berkelana sendirian ketika malam hampir menjemput. Mau bagaimana lagi, informannya Jackson, hanya setuju bertemu ketika malam hampir tiba dan telah minim aktivitas. Meskipun rumahnya sendiri juga sudah ada di tempat paling terpencil. Gang terjauh dari pasar dan jalan raya. 


Nyssa dengan tenang berbelok dari gang demi gang sempit dan berjalan lurus melewati lorong dengan rumah-rumah dan jendela yang mulai di tutup rapat-rapat oleh pemiliknya. Begitu ia memasuki jalan raya dengan lampu minyak tanah kecilnya, suasananya pun hampir sama. Toko-toko Saxon yang hampir tutup, suasananya selalu berkabut ketika menjelang gelap. Karena itulah ia paham bahwa ia harus cepat.


 Aromanya berubah tajam ketika ia mulai melewati kios-kios tersebut. Bau Arang bekas dari Daging asap yang mengepul, semerbak harum kayu Cendana yang sengaja dibakar, serta benda tajam yang sengaja diasah terakhir kali oleh pembuatnya sebelum berkemas. Belum lagi aroma anggur liar dan susu dari bar-bar malam yang baru buka. Salju pertama pun mulai turun, membasahi mantel tebalnya. Ia menunduk sejenak untuk memberikan sepotong roti kepada anak laki-laki tunawisma bermuka cemong, ketika tiba-tiba cairan kental merah segar dan berbau anyir jatuh dari atas menodai rotinya. Nyssa pun terbelalak, menoleh ke atas dengan jantung yang berdegup kencang. 


“Gadis opera yang Lezat!” 

Suara itu menggeram buas, tampak laki-laki berkerah tinggi yang menghisap dan menyiksa gadis berkulit pucat sepucat kalung mutiara yang melingkari lehernya, Berambut keriting gelap, yang juga tampak pasrah dan hanya bisa merintih pelan, sedang tubuhnya terapit menggelantung di balkon, Jari-jarinya yang terkulai ke bawah sesekali berkedut. “T-tolong…”


“Aaaaaaakh!” Anak tunawisma itu refleks berteriak histeris, rotinya pun terjatuh ke genangan darah. Namun, Nyssa dengan cekatan menariknya, membungkamnya, sembari memeluknya dari belakang menekan mereka serapat mungkin ke dinding. Menandak segala aktivitas pun terhenti, tidak peduli seberapa pun keras musik yang diputar dari balkon itu pada awalnya.


 Udara menegang sesaat. Gadis itu sengaja dijatuhkan dari atas balkon ke genangan darahnya sendiri, tepat di depan matanya. Mati terkulai dan tak berdaya, mata mayatnya tepat menusuk menatapnya. Selagi lengan Nyssa masih memeluk erat tubuh anak tunawisma tersebut. Orang-orang berlarian dalam senyap, menjauhi pemandangan tersebut. Tidak mau lagi memancing keributan dengan berteriak. 


Kabutpun semakin menebal di sekeliling mayat itu, dan di saat itulah ia perlahan bangkit, begitu hening masih tanpa ekspresi mendekati mereka.


 “Lari, sekarang!” Teriak Nyssa. Anak kecil itu pun lari terbirit-birit berbelok ke gang. Dan nyaris bersamaan, gadis vampir itu menerjang dan melompat ke arah Nyssa dalam satu kedipan mata. Tubuhnya yang gesit dan tangkas dengan kekuatan yang tidak masuk akal itu berhasil menjepit Nyssa ke tanah, dia belum sempat merapal mantra, namun refleks tangannya juga cukup cepat untuk sekedar mencekik gadis vampir itu. “Sol Urens!” ia menggertakan giginya, mata kebiruannya menyala, kuku-kukunya mencengkram kuat dan menggores leher gadis vampir itu ketika jilatan merah- keemasan api mulai terbentuk dari jari-jemarinya. Gadis Vampir itu menjerit dan memekik kesakitan. Setetes darah merah-kehitaman kental mengalir dari luka yang ditimbulkan kuku Nyssa. Cukup untuk memberi peluang Nyssa mencabut pisaunya yang telah dilumuri dengan garam di perjalanan. Dalam satu Hujaman kuat Nyssa pun menusuk jantungnya. 


Gadis vampir itu tercekat, pupil mata bak ularnya membelalak diikuti otot yang mengendur dan rintihan sakit yang tertahan. Darah merah pekat-nyaris kehitaman mulai mengalir deras dari ujung bibirnya. Nyssa pun refleks menendangnya dan ia terhempas ke udara seolah tubuhnya seringan bulu. Dan di saat itulah kereta kuda bangsawan dari arah berlawanan, melaju dan menabrak gadis vampir itu menghancurkannya berkeping-keping. Darahnya menyembur ke segala arah. Menodai wajah dan jubah Nyssa. 


Salah satu bangsawan bertopeng, berkulit pucat, gaun tunik, lengan mengembang, dan topi bulunya terlonjak kaget dan mengintip ke luar jendela kereta, salah satu roda keretanya menelindas kepala gadis vampir yang menggelinding. Dan saat matanya bertemu Nyssa tatkala berpapasan..


bibir merahnya menyeringai.. menampilkan taring. 


Nyssa tersentak, ia berlari ke seberang dan merebut seember air garam dari nelayan setempat yang berpapasan sehabis pulang memancing dari dermaga melewati pasar. Sontak mengguyur tubuhnya dengan air tersebut. Air garam memang cukup kuat untuk menyamarkan baunya dari para makhluk malam, termasuk vampir, bahkan membunuhnya. 


“Hey!” 

“Maaf akan kubayar!” Nyssa dengan gesit melemparkan satu koin emas dari kantong jubahnya. 


 “fweeeet!” 

Seekor kuda jantan coklat berlari ke arahnya menjawab siulannya. Nyssa menaiki kudanya dalam satu lompatan lihai, menghentakkan tali kekangnya. Lari Azlar!” rambut kemerahan teh jahenya tersibak dari balik jubahnya ketika berkuda menerjang ke kegelapan malam, menembus hutan, kembali ke Wallachia. 


                                       ***

Dari balik bayang kegelapan malam, kereta kuda mewah putih berbodir emas menepi, bertengger di atas jembatan. Di bagian pintunya terpampang lambang Tiara terbalik, satu pedang ditengah yang diapit sepasang tombak ular, seolah membentuk trisula Poseidon. 


Salib Terbalik.


Sepasang mata mengintai, bibir merahnya menyeringai tajam, meskipun ia telah mencoba menyembunyikan kebuasannya di balik topeng orkestranya. Pupil matanya membesar dan menyipit mengikuti jejak Nyssa dari kejauhan. 


“Kurasa aku menemukannya Albert, desisnya. “aku menemukannya..”


Halo para pembaca! Karena kondisi penulis sedang kurang sehat, kami memutuskan untuk menunda pembaruan cerita. Chapter berikutnya akan dirilis pada Sabtu, 29 November 2025. Penundaan Jadwal Update di karenakan adanya kendala Teknis terkait laman web ini. Terima kasih atas pengertiannya!


English Translation Version: 



Author’s Note for Readers:


This story takes place long before the French Revolution erupted in 1792, and long before the rise of Erzabeth Bathory as Sekhmet. Long before Richter Belmont, Maria, and Aneth—our future heroes—were even born…


In fact, this prophecy had been foretold three hundred years earlier...



---


Brief Biography of the Main Characters:


Adrian Fahrenheit Tepes (Alucard)


In the original Castlevania series, he is said to have been born around the mid-1450s. His physical traits include pale skin, golden eyes, and long wavy white hair. His father is Lord Dracula Tepes, and his mother is a human named Lisa, a doctor from a small village called Lupu in the region of Wallachia, which in the modern era is part of Romania.


His mixed blood makes Alucard a dhampir (half-human, half-vampire). However, in this story, after he becomes involved in a bloody war with the mission to kill his own father—who rampaged and attempted to genocide humanity after his wife’s death at the hands of the Church, accused of witchcraft (a narrative also found in the original lore)—Alucard eventually transforms into a full vampire and inherits Dracula’s Castle in Wallachia.


Phonyssa Afeta Belmont:


This is the main original fan-made character created by the author. She was born 133 years after the war against Dracula ended. With ginger-tea-colored hair and ocean-blue eyes like her ancestor Sypha, she chooses her own path at eighteen, delving into secret knowledge, history, and magic. She joins the Speakers from her maternal lineage—Sypha Belmont—rather than becoming a vampire hunter like the Belmonts from her father’s side—Trevor Belmont. Both of her ancestors fought side by side with Alucard to defeat Dracula in the past.



---


Moving Castle (Dracula’s Castle)


Wallachia, 1477


A blue-eyed raven, its gaze flickering like dancing flames, perched on the stone window of one of the towers, a scroll tied with a navy ribbon clasped in its beak. Alucard snorted before a faint smile appeared. This raven was clearly no ordinary raven—its eyes were almost the same color as Sypha’s, the cheerful and brave Speaker girl he knew so well. The raven burst into feathers the moment the scroll fell into Alucard’s hand. With a flick of his finger, he untied it.


The voice of the letter’s writer echoed through the air as glowing golden magical phrases unfurled and wrapped around his body. He closed his eyes, listening with reverence, resting his head against the chair without realizing it.


Trevor Belmont


“Hey… pale blond, how are you? I hope you’re not whining and crying over us… or starting a conversation and making love to the walls, because I’m still hoping to whip your ass again someday…”


Sypha Belmont


“Oh, don’t listen to that bastard, Alucard… he misses you! He’s just too proud!”


Their laughter echoed through the room.


Trevor Belmont


“Yeah, anyway, we hope you stay alive, old man, long enough so that our descendants in every generation can come to know you. And don’t forget to tell my grandchildren someday the most epic part—when Trevor Belmont bravely conquered The death!”


Sypha Belmont


“You’re so annoyingly talkative! What if you actually died?!”


Trevor Belmont


“Ah! My nose!”


Their laughter rang again.

In the warm noise, he felt like he was home again. He could almost picture them writing this letter together.


Trevor Belmont


“Sypha is pregnant, Alucard… and guess what she dreamed about last night!”


Sypha Belmont


“We’re going to be parents, and you’re going to be an uncle! Yahoo!”


A thin smile tugged at Alucard’s lips—those two truly never grew up.


Trevor Belmont


“She dreamed of the future… of my descendants. One of them will meet you, and the three of us will walk together again… carrying out a special mission. One will be a girl, red-haired like my ember-flames, and her eyes maybe as blue as Sypha’s. And the other, a boy—dark-haired and a bit childish. I want you to protect and guide them, Pale Blond…”


Sypha Belmont


“And be careful with the red-haired one, Alucard… She may have my soft eyes and smile, but she’ll have the stubbornness and sharp tongue of the Belmonts. She’ll annoy you a lot. We don’t know when they will be born, but the red-haired one is foretold to come first…”


Alucard finally rose as the glowing phrases reabsorbed into the scroll and vanished. His long nails tapped the carved oak table as he rested his chin on his hand. A faint smile blossomed on his lips.

“Very well… I’ll wait for them.”



---


Brosov, Romania, 1631


“Nyssa, I received another letter from Akwi this evening. His ravens kept circling my house and suddenly perched on the hearth…” said Jackson, the middle-aged woodcutter, handing her a tied scroll. At least he was sympathetic and never judged them like so many self-righteous people.


“It’s not that I don’t want to help you, Nyssa. Truly. But this is too risky. Why doesn’t Akwi send his ravens straight to that legendary Moving Castle?” he asked, folding his arms.


“That’s not possible, Jackson. Too dangerous…” she replied. A silence thickened between them before Nyssa finally spoke again. “Whatever you’ve done, Jackson, we’re grateful. Next time, I’ll send my raven to deliver the smallpox medicine for your daughter.”


Nyssa smiled from the doorway, one hand on the wooden hinge. A gust of wind brushed her reddish hair from beneath her winter cloak as she opened the door just enough for the cold season to sneak inside.


“Her smallpox has dried up, Nyssa. We just need to heal the scars.” The man’s gaze softened as he looked into her bluish eyes. “Thank you.”


Nyssa returned his smile gently before stepping out. Turning into a narrow alley, she finally opened Akwi’s letter. The parchment was filled with glyph-ink symbols only Speakers could read.


“Ostende Illud!”

In an instant, the glyphs glowed in many colors, and Nyssa’s blue eyes lit up as she activated the spell. The encrypted text carved itself into the air.


“Remember your purpose, Nyssa.”

Your purpose is to restore the conscience of the Immortal One—Adrian Fahrenheit Tepes, Alucard… as Lisa once did to his father, Vlad Dracula Tepes.

But be careful. Do not let him read your intentions…


“And be cautious when fighting vampires in open spaces. Do not attract attention. I do not want our peace disrupted by clashes with the Church. And avoid wandering alone after dusk.

Take care, child…”


Nyssa tilted her head with a wry smirk, exhaling deeply to steady her heart. She knew she had already broken Akwi’s third rule: wandering alone near nightfall. But she had no choice—Jackson would only meet her when activity was low, and his home was in the most isolated area, the edge of the alley far behind at the corner, far from the market and main roads. Tough. 


She navigated narrow alley after narrow alley, passing homes whose windows were being shut tight by it's owner. When she reached the main road with her oil lantern, the atmosphere was nearly the same. Saxon shops were closing, fog always thickening at dusk. She knew she had to be quick.


The smells changed sharply as she passed the stalls:

charcoal from smoked meat, burning sandalwood, the metallic scent of freshly sharpened blades, mix of wild wine and milk from night bars.

The first snow began to fall, soaking her thick cloak. She paused briefly to give a piece of bread to a grimy-faced homeless boy—

when suddenly a thick, fresh, metallic-smelling drop of red fell from above onto the bread.


Nyssa froze.

She looked up, her heart pounding.


“Delicious little opera girl!”


The voice growled savagely. A high-collared man drained and tortured a pale girl, her skin the same color as the pearl necklace around her neck. Her dark curly hair hung lifelessly as her limp fingers twitched from where her body dangled over the balcony.


“H-help…”


“Aaaaaaakh!”

The homeless boy screamed, and his bread fell into the blood puddle.

Nyssa moved swiftly, yanking him close, covering his mouth and pressing them tightly against the wall. All activity stopped, no matter how loud the music had been moments earlier at that damn-balcony.


The air tightened.

The girl was dropped from above, hitting the pool of her own blood right in front of them—dead, limp, her lifeless eyes staring directly at Nyssa. While Nyssa’s arms were still wrapped tightly around the homeless child’s body, people ran off in silence, keeping their distance from the scene. They no longer wanted to stir up trouble by shouting. 


Fog coiled around the corpse… and then she rose—silent, expressionless, approaching them.


“Run. Now!” Nyssa shouted.


The boy sprinted, disappearing into an alley. Almost instantly, the vampire girl lunged at Nyssa, pinning her to the ground with inhuman strength. Nyssa hadn’t had time to cast a proper spell, but her reflexes were fast enough to grab the vampire’s throat.


“Sol Urens!”


Her blue eyes flared as red-gold flames licked from her fingertips. The vampire shrieked in agony. Dark red, nearly black blood oozed from the wound Nyssa’s nails left—just enough for Nyssa to grab her salt-coated knife.


One powerful thrust—

she stabbed the vampire’s heart.


The creature choked—

her snake-like pupils widening, her limbs loosening, a strangled whimper escaping. Thick dark blood dripped from her lips. Nyssa kicked her off; the body flew like a feather, and at that exact moment, a noble’s horse-carriage hurtled from the opposite direction—


CRACK!!!—


It smashed into the vampire, tearing her apart. Blood sprayed everywhere, splattering Nyssa’s face and cloak. A carriage wheel crushed the vampire’s rolling head.


One noble, masked and pale, with puffed sleeves, a tunic dress, and a feathered hat peeked out the window.

Her gaze met Nyssa’s…


Her red lips curled into a smile—

revealing fangs.


Nyssa jolted, ran across the street, and grabbed a bucket of salted water from a fisherman returning from the docks. Without hesitation, she drenched herself. Saltwater masked scents from creatures of the night—and sometimes killed them.


“Hey!”


“I’ll pay!” She tossed him a gold coin.


“Fweeeet!”


A brown stallion galloped toward her at her whistle. Nyssa mounted him in one graceful leap.


“Run, Azlar!”


Her ginger-tea hair whipped behind her as she rode into the night, plunging into the forest—

back toward Wallachia.



---


From the darkness, a luxurious white carriage trimmed with gold pulled over atop a bridge. On its door was a symbol: an inverted tiara, a sword in the center flanked by twin serpentine spears—forming a Poseidon's trident.


An Inverted Cross.


A pair of eyes watched, red lips curling wickedly beneath a masquerade mask.

Even though she had tried to hide her  savagery behind the mask of her orchestra.” A beauty mark sat upon her chin. Her pupils widened, narrowing as she followed Nyssa’s trail.


“I believe I’ve found her, Albert,” she hissed.

“I’ve found her…”



Hello dear readers! As the author has been feeling unwell lately, we’ve decided to delay the story update. The next chapter will be released on Thursday, November 27, 2025, at 8:00 P.M. Thank you for your understanding!